Senin, 31 Januari 2011

Potensi Guru Indonesia Masih "Tertidur"


JAKARTA, KOMPAS.com — Kunci perubahan dalam pendidikan terletak pada guru dan kepala sekolah yang menghadapi siswa secara langsung. Jika mereka diabaikan, hal itu akan berdampak pada siswa. Siswa akan berhasil jika diberi lingkungan sekolah yang baik.

Demikian diungkapkan Ketua Perhimpunan Indonesia untuk Pengembangan Kreativitas Ida I Gede Raka pada acara puncak pendidikan guru SDN Duri Pulo 1-10 di Jakarta, Senin (31/1/2011). Pendidikan guru di sekolah-sekolah yang melayani siswa miskin selama setahun ini didukung Indonesian Overseas Alumni (IOA), wadah bagi alumni Indonesia yang pernah belajar di luar negeri.

Raka yang juga mantan guru besar Insitut Teknologi Bandung menambahkan, potensi guru Indonesia "tertidur". Pasalnya, guru tidak dibantu untuk mengeluarkan potensi kebaikan yang sebenarnya ada dalam tiap dirinya.

Dari testimoni sejumlah guru terungkap bahwa mereka selama ini kurang mau memahami kondisi siswa yang berasal dari keluarga tidak mampu. Akibatnya, guru kurang memotivasi siswa yang tidak mendapat perhatian penuh dari orangtua karena kesibukan orangtua mencari nafkah.

Di sekolah Duri Pulo, misalnya, guru menghadapi siswa yang lambat belajar, malas belajar, ribut, hingga bolos. Para guru diajak untuk berubah dengan mengeluarkan kebaikan untuk mencintai anak-anak didik hingga mengembangkan pembelajaran kreatif dan inovatif.

"Perubahan-perubahan kecil yang dilakukan tiap guru berdampak baik ke siswa. Mereka jadi senang belajar dan hadir ke sekolah. Para guru berharap supaya terus didukung dalam pengembangan diri dan cara belajar kreatif," kata Karsono, Kepala SDN Duri Pulo 10.

Ketua Umum IOA Pramukti Surjaudaja mengatakan, pendidikan adalah senjata paling dahsyat untuk mengubah dunia. "Di tangan gurulah senjata itu akan memberi hasil yang baik. Negeri ini butuh guru-guru yang mau berubah untuk memberikan yang terbaik bagi siswanya," kata Pramukti.

Sebelumnya diberitakan, pemerintah perlu mengubah pendekatan pendidikan dengan mempsisikan guru dan kepala sekolah sebagai bagian yang terpenting. Guru tidak semata diberi kemampuan untuk berubah. Yang terpenting justru kemauan untuk berubah.

"Berubah bukan masalah kemampuan, tetapi kemauan. Guru yang hanya dikasih kemampuan belum tentu membawa perubahan kalau tidak dibantu mau dengan senang hati berubah," kata Raka.
Sumber:http://edukasi.kompas.com/read/2011/01/31/19151967/

Jumat, 07 Januari 2011

Sekolah Negeri dan Swasta Beda

Penyelenggaraan pendidikan bisa dilakukan oleh Pemerintah dan swasta. Jika dilakukan oleh Pemerintah maka disebut sekolah negeri, akan tetapi jika dilakukan oleh masyarakat maka disebut swasta. Atas dasar ini, swasta dan negeri harus dibedakan.

’’Pemerintah punya keterbatasan, dan berdasarkan undang-undang itu penyelenggaraan pendidikan bisa dilakukan pemerintah dan masyarakat. Kalau semuanya menjadi tanggungan Pemerintah, maka peran masyarakat akan hilang,’’ ucap Menteri Pendidikan Nasional ketika ditanya soal gugatan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003 Pasal 55 ayat 4, Jumat (7/1).

Menurut Nuh, berdasarkan pandangan dari sisi pemerintah atas UU Sisdiknas, pendidikan itu sejak awal dilakukan terbuka, yaitu bisa dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat. Jika kata ’dapat’ dalam pasal itu diganti dengan kata wajib, maka semuanya menjadi tanggungan pemerintah dengan kata lain menghilangkan konsep swasta.

’’Bukan kalau pemerintah memberikan status sama dengan negeri, maka yang swasta diberikan fasilitas yang sama dengan negeri, lalu apa bedanya swasta dengan negeri’’ tuturnya. Akan tetapi jika masyarakat punya pandangan lain, hal itu dipersilahkan. ’”Masyarakat bisa melalui mekanisme pengujian di MK (Mahkamah Konstitusi), nanti diputuskan apa pemerintah wajib memenuhi seluruh pendidikan yang ada di masyarakat,’’ tuturnya.

Justru kalau semuanya menjadi kewajiban pemerintah, swasta tak bisa mengembangkan diri dan masyarakat memiliki keterbatasan untuk berpartisipasi dalam pendidikan. ’’Justru pemerintah meletakkan fondasi bahwa pendidikan menjadi milik semua,’’ ucapnya.

Pemerintah dari awal memberikan bantuan melalui BOS atau bantuan guru DPK, yang mekanisme bantuannya melalui anggaran kabupaten dan kota. Anggaran fungsi pendidikan ini bukan hanya untuk negeri akan tetapi untuk swasta. Ia menambahkan masyarakat harus membedakan antara hak perorangan dan lembaga.

’’Semua bantuan akan diterima secara bertahap,karena pemerintah punya keterbatasan. Bagi anak-anak miskin, ada sekolah dasar yang ada di setiap pedesaan yang menjadi hak menerima pendidikan. Jadi tidak ada diskriminasi,’’ pungkasnya.

Sumber: REPUBLIKA.CO.ID

Guru Agen Perdamaian


Guru perlu aktif mempromosikan nilai-nilai kewarganegaraan, perdamaian, dan keberagaman. Sebab, guru mengemban misi menyiapkan generasi penerus bangsa yang bertanggung jawab.

Guru juga harus membekali muridnya dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan hidup.

Hal itu merupakan bagian dari seruan bersama para pemimpin lembaga internasional untuk memperingati Hari Guru Internasional yang jatuh pada hari Selasa (5/10/2010).

Seruan bersama di Jakarta itu datang dari Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa- Bangsa (UNESCO), Badan PBB untuk Anak-anak (Unicef), Program Pembangunan PBB (UNDP), Organisasi Buruh Internasional, dan Education International.

Para guru berperan untuk membangun harapan bangsa yang ingin memiliki generasi cinta damai dan hidup harmonis dalam keragaman. Sebab, banyak anak-anak saat ini mengalami trauma akibat menyaksikan kekerasan yang ekstrem, mengalami kehancuran rumah, dan kehilangan anggota keluarga.

Seruan dunia kepada guru itu, kata Ketua Umum Federasi Guru Independen Indonesia Suparman, amat relevan dengan kondisi sosial masyarakat Indonesia saat ini. Guru perlu ikut aktif memulihkan kondisi sosial masyarakat dengan mengampanyekan penghentian segala bentuk kekerasan dan konflik. Di sekolah, guru harus menerapkan sikap antidiskriminasi dan memahami keberagaman.

Pengamat pendidikan HAR Tilaar mengatakan, gesekan-gesekan sosial sering terjadi sebagai konsekuensi masyarakat Indonesia yang semakin tidak mengenal budaya Nusantara.

Pendidikan nasional tidak lagi memperkuat kebudayaan bangsa yang seharusnya diajarkan di sekolah. Ini terjadi karena pemerintah tak lagi menyatukan kedua unsur itu dalam satu departemen: pendidikan dan kebudayaan.

Tilaar menegaskan perlunya memperkuat pendidikan multikulturalisme di sekolah. Upaya itu penting untuk membentuk generasi muda yang mampu menghargai perbedaan budaya, agama, dan suku, serta keragaman lainnya.

”Pendidikan yang didesentralisasikan justru bisa mengancam. Bagaimana mau menyatukan bangsa Indonesia kalau guru terpaku di satu daerah. Ini karena guru sekarang jadi milik bupati atau wali kota,” katanya.

Setelah berbagai konflik melanda Indonesia berlatar belakang perbedaan agama dan suku, guru-guru mulai menyadari pentingnya membekali siswa dengan pendidikan damai. Pendidikan damai

Seperti di Sulawesi Tengah dan Maluku, guru-guru yang difasilitasi World Vision Indonesia melalui Wahana Visi Indonesia (WVI) mengembangkan pendidikan damai yang dinamakan pendidikan harmoni.

”Pendidikan harmoni merujuk dari pendidikan damai. Kami ingin memastikan nilai-nilai perdamaian, kemanusiaan, hak asasi manusia, multikulturalisme, dan perlindungan anak terintegrasi dalam kurikulum SD,” kata Frida Siregar, staf WVI untuk Pendidikan Damai Wilayah Sulawesi dan Maluku.

Pendidikan harmoni lahir dari semangat penyatuan dalam keberagaman. Kompetensi nilai harmoni yang dikembangkan adalah harmoni diri (tanggung jawab, keyakinan pada ajaran agama, kepercayaan); harmoni sesama (penghargaan, kejujuran, kepedulian); serta harmoni alam (ramah lingkungan, melindungi, kewarganegaraan).

Menurut Frida, dari hasil penelitian awal WVI di Palu dan Poso tahun 2009 ditemukan bahwa pemahaman akan perbedaan suku dan agama yang ada di masyarakat masih lemah. Masih ditemukan anak dengan agresivitas tinggi, rasa dendam, dan enggan berinteraksi dengan teman yang berbeda agama.

Di Palu, 35 persen anak menyatakan tidak mau berteman dengan mereka yang berbeda agama dan 14,2 persen tidak tahu. Di Poso, 10,8 persen anak tidak mau berteman dan 15 persen tidak tahu. (ELN)

Sumber: KOMPAS.com