Minggu, 15 Agustus 2010

Pendidikan Karakter Diterapkan dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

SURABAYA--Pendidikan karakter diterapkan dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Demikian disampaikan Kabid Kurikulum Pendidikan Dasar Balitbang Kemendiknas Erry Utomo di Surabaya Sabtu (8/8) dalam 'Seminar Kebijakan Pendidikan Nasional Tentang Pendidikan Karakter'.

Menurut Erry, pendidikan karakter dilakukan pemerintah tidak dalam bentuk mata pelajaran. ''Sebaliknya, menjiwai di setiap mata pelajaran serta didorong menjadi budaya sekolah,'' ujarnya.

Karena itu, kata Erry, hal ini mulai dilakukan tidak hanya untuk perguruan tinggi, tapi juga dari jenjang pendidikan dasar dan menengah. ''Pemerintah mendorong melalui bagaimana sekolah tersebut membentuk budaya sekolah bersih, rapi, dan nyaman sebagai syarat untuk membentuk pendidikan berkarakter,'' paparnya.

Selain itu, kata Erry, pemerintah juga saat ini kembali mendorong sekolah-sekolah dasar dan menengah guna memajukan kegiatan ekstrakurikuler seperti pramuka di sekolah yang mampu menumbuhkan pendidikan karakter kepada anak, serta kejujuran dalam ujian sekolah atau ujian nasional. ''Hingga kini, memang belum terlihat hasilnya. Namun, kami harapkan hasil itu akan terasa hingga lima tahun ke depan. Jika tidak digulirkan kembali pendidikan karakter ini, dikhawatirkan anak-anak Indonesia bisa terancam dari sisi moral, karena keterpurukan moral tanpa ada karakter,'' cetusnya.

Selain itu, sebanyak 70 ribu siswa per tahun akan diasramakan untuk belajar tentang pendidikan karakter. ''Jika gurunya sudah diajarkan, maka anak didik yang akan menikmati,'' jelas Erry.

Staf Khusus Mendiknas bidang Media, Sukemi, mengatakan, pengembangkan pendidikan karakter harus dari kalangan jenjang pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Pasalnya, pendidikan karakter itu merupakan bagian dari kontrak kinerja Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh dengan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono. ''Pendidikan karakter ini akan berkutat pada empat hal yakni, olah hati, olah pikir, olah rasa, dan olah raga,'' jelasnya.

Olah hati yang dimaksud yakni berkata, bersikap dan berperilaku jujur. Olah pikir berarti cerdas yang selalu merasa membutuhkan pengetahuan. Olah rasa artinya memiliki cita-cita, dan terakhir olah raga artinya menjaga kesehatan di tengah-tengah menggapai cita-cita tersebut. ''Empat hal ini yang menjadi perhatian pemerintah, karena banyak generasi muda kita saat ini sudah tidak memperhatikan keempat hal itu. Mereka lebih mengutamakan ijazah untuk bekerja namun sayangnya sedikit yang berkarakter,'' kata Sukemi.

Apalagi, moral generasi muda bangsa ini semakin lama semakin terpuruk. Ini ditandai dengan banyaknya beredar video porno di kalangan pelajar, ketidakjujuran kalangan selebritas atas fakta video porno yang terjadi, perilaku seksual di kalangan anak muda, dan rasa hormat siswa terhadap guru dan orang tua yang mulai berkurang. ''Inilah yang menjadi salah satu tugas Kementerian Pendidikan Nasional untuk membenahi generasi muda dari sisi karakter. Pembenahan karakter itu dimulai dari para guru, karena dengan melalui guru-lah, murid-murid bisa terbentuk pendidikan yang berkarakter,'' kata Sukemi.

Rektor Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Muchlas Samani, menambahkan, pendidikan karakter memang berpatok pada jujur, cerdas, punya cita-cita dan olah raga saja. Meski begitu, pendidikan karakter itu juga diperluas dengan budi pekerti luhur, kerja keras, dan disiplin. Hal tersebut bukan hanya dipengaruhi orang tua dan lingkungan masyarakat saja, melainkan juga guru.

Karena itu, lanjut Muchlas, sudah sepatutnya perguruan tinggi pencetak guru, tidak hanya mencetak guru profesional, namun juga mampu mencetak guru yang punya jiwa pendidikan berkarakter. Gaung tersebut harus dilakukan serentak di seluruh perguruan tinggi pencetak guru di Indonesia.

Di kampus Unesa mulai tahun ajaran ini misalnya, mahasiswa membekali pendidikan berkarakter kepada mahasiswa. ''Artinya, bagi mahasiswa yang ingin menjadi guru, maka akan dididik menjadi calon guru yang benar-benar mengabdi untuk memajukan pendidikan Indonesia melalui pendidikan berkarakter itu,'' jelas Muchlas.
Red: Endro Yuwanto
Sumber: viruscerdas.com melalui REPUBLIKA.CO.ID, 15/8/2010

Selasa, 13 April 2010

Dilema Orangtua Zaman Sekarang

Awal pekan kemarin, saya mengundang orangtua siswa saya karena pada akhir pekan anaknya tertangkap tangan membawa HP ke sekolah. Bagi sekolah SMP yang lain peraturan siswa membawa HP (Hand Phone) agak longgar, tetapi di sekolah saya HP tidak boleh dibawa ke sekolah. Singkat cerita ketika saya berbicara dari hati ke hati dengan orangtua siswa tersebut terungkaplah kegundahan seorang orangtua. Beliau menyatakan bahwa HP dalam penggunaannya bisa mengganggu konsentrasi belajar, namun beliau takut jika anak tidak membawa HP maka akan sulit terlacak keberadaannya secarta real time. Diantara dilema ini saya mengajukan tesis untuk jangan terlalu khawatir tentang keberadaan anak, namun beliau tidak bisa menyembunyikan ketakutannya jika anaknya terjerumus kepada pergaulan yang negatif seperti kebanyakan anak SMP di desanya.

Pertanyaan yang muncul dalam benak saya adalah betapa "manja" nya siswa saya tadi? Permintaanya yang bisa dituruti orangtua sesegera mungkin diwujudkan oleh orangtua. Jika permintaan tersebut belum bisa dikabulkan seketika, orangtua bersusah payah untuk mewujudkannya. Kadang kadang saya teringat pengalaman pribadi saya, keinginan untuk dapat menggunakan sepeda motor pada saat SMA baru kesampaian 5 tahun kemudian. Sementara siswa saya sudah diberi iming iming untuk dibelikan sepeda motor setelah masuk SMA ( kira kira 2 tahun lagi). Dalam pandangan saya alangkah tidak bijaksana jika memberikan sesuatu pada anak tanpa mempertimbangkan keadaan mental dan cara berpikir anak. Orangtua mungkin berpikir praktis sementara anak anak berpikir hedonis.

Terlepas dari hal tersebut, mungkin ini bisa jadi adalah tanda tanda zaman di mana tuntutan masyarakat menjadi serba cepat dan instan. Cara berpikir ini kemudian membuat anak anak berpikiran yang sama. Anak remaja sekarang sudah fasih mengunakan HP, komputer, Laptop, IPod atau IPad sementara apresiasi mereka terhadap sesuatu sangat minim. Mereka tidak pernah berpikir bahawa hidup ini susah, cari uang tidak gampang, masa datang lebih berat tantangannya dsb. Inilah dilema yang menggelayuti keadaan masyarakat kita, terutama relasi orangtua dan anak. Lebih celakanya lagi tidak banyak orangtua yang menyadari ini...

Senin, 11 Januari 2010

Mendiknas: UN bukan Standar Tunggal


JAKARTA--Pemerintah menegaskan bahwa Ujian Nasional (UN) tidak akan dijadikan syarat tunggal dalam menentukan kelulusan siswa SMP dan SMA. Pemerintah juga menyatakan tetap menggelar UN pada 2010 ini. Hal itu karena tidak ada satu pun produk hukum yang memerintahkan pemerintah menghentikan UN.

"Untuk saat ini, dengan berbagai pertimbangan, UN ini lebih banyak positifnya dbanding negatifnya," kata Menteri Pendidikan Nasional, M Nuh, usai mengikuti Rapat Kabinet Terbatas Bidang Kesejahteraan Rakyat, di Kantor Presiden, Kamis (7/1).

Nuh menegaskan, siswa yang tidak lulus akan diberi kesempatan mengikuti ujian ulang pada mata pelajaran yang tidak lulus atau keseluruhan. Selain itu, kata dia, pemerintah memberi opsi lain berupa ujian Paket C. "UN itu bagian dari sistem evaluasi," kata Nuh.

Sistem evaluasi yang dimaksud itu adalah bagian dari proses belajar mengajar. Sehingga, ujar dia, UN diistilahkan sebagai pohon, sedangkan sistem dalam proses belajar mengajar itu diistilahkan sebagai hutan. "Jangan sampai ketika memperdebatkan itu, hutannya menjadi tidak terawat," kata Nuh.

Dia mengatakan, keputusan pemerintah untuk tetap melaksanakan UN itu sudah mengakomodir aspek-aspek yang menjadi perhatian masyarakat. Nuh menegaskan, UN bukan suatu hal yang menakutkan. "Jangankan anak, sampeyan sendiri kalau diuji stress, maka yang penting adalah bisa mengelola potensi psikologis untu mengelola per-stress-an itu," kata Nuh. UN juga mendukung Indonesia untuk menang di kompetisi global.

Menurut Nuh, terdapat empat landasan kelulusan, yakni telah menyelesaikan seluruh program pendidikan; memiliki nilai akhlak, budi pekerti, dan moral yang baik; lulus ujian di tingkat sekolah; dan lulus UN.

Dia mengatakan, penggunaan UN telah melalui evaluasi yang panjang. Nuh mengingatkan, syarat kelulusan pernah sepenuhnya diserahkan kepada sekolah, yakni dalam kurun waktu 1972 hingga 1992. Akibat adanya perbedaan kualitas hasil pendidikan, maka pemerintah melaksanakan UN.

Saat ini, syarat kelulusan dalam UN adalah memiliki nilai di atas 5,5. "Boleh rata-rata 5,5 tapi tidak boleh ada angka empat," kata Nuh. Hasil UN, kata dia, digunakan untuk mengetahui kualitas pendidikan. Dengan cara itu, pemerintah bisa daerah mana yang pendidikannya kurang bagus, sehingga pemerintah bisa intervensi.

Mengenai fatwa Mahkamah Agung (MA) soal kasasi UN, Nuh menegaskan, tidak ada satu kata pun yang minta UN distop atau dilarang. Dia mengatakan, pemerintah hanya diminta membayar uang perkara, meningkatkan kualitas guru, melengkapi sarana prasana, dan aspek informasi sebelum kebijakan baru UN dbuat. (Republika OnLine :Kamis, 07 Januari 2010)

Malapraktik Bisa Terjadi di Dunia Pendidikan

JAKARTA--Malapraktik ternyata tak hanya terjadi di dunia kedokteran. Di dunia pendidikan, kasus malapraktik pun banyak ditemukan terutama pada kelas pemula di jenjang pendidikan sekolah dasar (SD), yakni kelas 1, 2 dan 3.

”Siswa malas belajar, menjadi pasif, dan takut terhadap jenis mata pelajaran tertentu, serta prestasi siswa tidak optimal, ini bisa jadi indikasi malapraktik. Padahal, saat di TK siswa-siswa itu kreatif,” ujar Kepala Sub Direktorat Program Ditjen Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) Depdiknas, Abi Sujak, dalam siaran persnya, Rabu (2/9).

Menurut Abi, indikasi demikian banyak ditemukan pada anak didik. Namun tidak banyak guru yang menyadari bahwa apa yang terjadi pada siswa tersebut sebenarnya merupakan bentuk malapraktik pendidikan. Malapraktik ini, lanjut dia, terjadi akibat beberapa hal. ''Di antaranya guru kurang memahami latar belakang dan bakat siswa serta perbedaan budaya antara guru dengan lingkungan sekolah,'' jelasnya.

Untuk menyelamatkan siswa dari malapraktik ini, Depdiknas bakal menerapkan program induksi bagi guru pemula. Program induksi adalah semacam orientasi bagi guru pemula untuk mengenal dan memahami tugas-tugasnya sebagai pendidik, dengan mengedepankan pengenalan lingkungan dan siswa yang akan dihadapi.

Program yang akan diterapkan selama setahun tersebut bakal melibatkan kepala sekolah maupun guru senior untuk menjadi mentor saat guru pemula melakukan tugas pengajaran di kelas. ”Jika dalam evaluasi ternyata guru yang bersangkutan tidak layak mengajar, maka ia tidak bisa dipaksakan menjadi guru. Ia bisa saja dialihkan ke tugas lain seperti administrasi atau petugas perpustakaan,'' cetusnya.

Program induksi ini, diakui Abi, untuk sementara hanya diberlakukan pada guru-guru pemula. Pertimbangannya, selain keterbatasan dana, umumnya guru pemula belum banyak mengenal lapangan.

Namun, belum bisa dipastikan kapan program induksi ini bakal diterapkan mengingat payung hukumnya belum ada. Namun Depdiknas sendiri sudah menerapkan program ini pada enam kabupaten percontohan yakni Sumedang, Bantul, Pasuruan, Padang, Banjarbaru, dan Minahasa Utara.

Sementara itu, dari data Depdiknas untuk tiga tahun ke depan bakal ada ribuan guru pemula. Menurut Edy Rahmat Widodo, dosen Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) Universitas Negeri Jakarta (UNJ), pada 2012 nanti terdapat 222 ribu guru yang pensiun, lalu 10 tahun ke depan 470 ribu guru pensiun, dan 15 tahun ke depan 890 ribu guru pensiun.

Edy mengingatkan, 15 tahun ke depan--jika 890 ribu guru pensiun--akan ada sekitar 26,7 juta murid yang akan diajar guru-guru baru. ”Terhadap guru-guru pemula inilah kami akan setting program induksi,” tandasnya. ((eye) diambil dari republika online, 2 September 2009)

Minggu, 10 Januari 2010

Guru Diminta tak Vonis Anak Pintar dan Bodoh

BANDAR LAMPUNG--Dalam proses belajar-mengajar di sekolah formal, guru kelas dan mata pelajaran seharusnya mencari potensi anak, bukan memvonis anak pintar dan bodoh.

Hal tersebut diungkapkan Guru Besar FKIP Universitas Lampung (Unila), Prof Dr Sudjarwo, dalam seminar pendidikan, Senin (19/10). Menurut dia, seharusnya seorang guru mempunyai kecakapan diagostik dan kompentensi aplikatif.

"Sebagai guru harus bisa menggali potensi atau kemampuan anak didik untuk dikembangkan, bukan memvonis anak ini pintar dan ini bodoh," ujar Sudjarwo.

Selain itu, Sudjarwo mengungkapkan, seorang guru harus memiliki otonomi untuk mengatur anak didiknya. Selanjutnya, sama seperti organisasi profesi lainnya, guru harus memiliki kode etik. Kode etik yang dikeluarkan oleh Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) harus dipatuhi bagi yang tergabung dalam organisasi tersebut. ''Pendidik atau guru harus mempunyai ciri dan prinsip profesionalitas, di antaranya harus ada keahlian khusus,'' jelasnya.

Sudjarwo mengutip makna profesional dari UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Yaitu, pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu dan norma tertentu, serta memerlukan pendidikan profesi. Ia menambahkan ciri profesionalitas guru harus memiliki keahlian khusus, selain panggilan hidup. Berikutnya, memiliki teori yang baku lalu mengabdikan diri untuk masyarakat.

Profesionalitas guru berikutnya, kata Sudjarwo, adalah harus mempunyai klien, mempunyai organisasi profesi, dan mempunyai hubungan dengan profesi lainnya. Sedangkan prinsip-prinsip yang harus dimiliki oleh kalangan guru, lanjut dia, ada sembilan hal, yakni memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme. Kemudian memiliki komitmen terhadap mutu, memiliki kualifikasi akademik, dan memiliki tanggung jawab profesional.

Selain itu, ada kewajiban yang harus dipenuhi oleh guru. Di antaranya, merencanakan, melaksanakan, menilai dan mengevaluasi, meningkatkan kualifikasi akademik dan mengembangkan kompetensi. (mur/eye, Republik Online : Senin, 19 Oktober 2009)